Merasakan 1 Tahun dan menghadapi 1 Semester





“Do not follow where the path may lead. Go instead where there is no path and leave a trail.” ― Ralph Waldo Emerson

Dengan menyebut nama Sang Maha Pengasih yang selalu memberikan pilihan terbaik kepada para Hamba Nya. Kepada Sang Maha Pemurah yang selalu memberikan nilai tertinggi kepada Hamba-Nya senantia berbaik sangka padaNya. 

Hmmm...  satu hela napas yang terhembus beriringan dengan sebuah renungan singkat dalam pikiran. "[Sudah] satu tahun ya..?", kata itu terucap untuk diri sendiri. Kalau dibilang terasa singkat atau tidaknya sih, jawaban singkatnya iya singkat. Tapi jika dipikirkan lebih mendetail lagi ternyata banyak juga yang sudah dialami dalam hidup sebagai perantauan yang semuanya terasa baru. Mulai dari berkunjung ke tempat yang katanya "the most visited place for tourism" hingga tempat biasa aja terkesan luar biasa [jadi perantau norak], untungnya ada teman noraknya selama perjalanan. Iya.. Alhamdulillah ada teman Indonesia yang baru bertemu di Jerman dan ternyata kita dalam program bahkan supervisor yang sama. Terlepas dari itu, pada kesempatan ini saya mencoba menggambarkan bagaimana lika liku pengalaman hidup di Jerman baik dari akademik maupun kondisi lingkungan sekitarnya [persepektif pribadi].

Memaknai hidup selama satu tahun pertama di Jerman yang saya alami bisa dikatakan terbagi menjadi dua masa. Masa pertama yaitu ketika di Berlin untuk pelatihan bahasa Jerman selama 4 bulan. Jika diresapi lebih mendalam, masa ini adalah masa noraknya sebagai new member di Jerman hehe.Terkadang suka tersenyum sendiri kalau diingat. Karena tahu tinggal di Ibu Kota Negara Jerman pasti yang dituju terlebih dahulu adalah Brandenburger tor [Gate] yang menjadi lokasi utama para wisatawan. Hal yang menjadi lucunya adalah tidak perlu diagendakan secara khusus untuk ke sini pun, saya pasti akan selalu melewati dan melihat kokohnya bangunan bersejarah tersebut. Baru disadari pada hari kedua bahwa lokasi tempat les hanya berjarak 10 menit dari bangunan tersebut. Jadi, bangunan itulah yang selalu menyapa pagi, siang bahkan malam kalau ada acara tambahan dari tempat les. 

Brandenburger Tor pagi, siang dan malam

Kota yang menjadi pusat wisata dan kuliah ini pun menjadikan suasananya terasa Internasional. Namun ada kalanya suasana akan terasa seperti di Jakarta saja karena ada beberapa lokasi tertentu kita sangat sering bertemu beberapa orang Indonesia baik mahasiswa maupun yang sudah bermukim ketika di perjalanan maupun belanja di Toko Asia. Terlebih lagi di Berlin terdapat Masjid Al Falah dimana seluruh pengurusnya adalah masyarakat Indonesia. Satu hal yang menguntungkan juga untuk saya dan teman mahasiswa lainnya sebagai perantau dimana jika ingin berhemat maka seringlah datang ke Masjid terutama Bulan Ramadhan (hussh.. bukannya niat untuk ibadah juga.. hehe). Belajar bahasa Jerman empat bulan cukup membekas di dalam otak saya sebagai amunisi untuk berbicara dengan penduduk di sana. Akan tetapi sangat disayangkan hal tersebut pun hanya berlaku untuk bulan saja dan sisanya mengalami 'evaporasi' secara bertahap hehehe. Yaa.. pada intinya Berlin itu serasa kampung halaman untuk saya karena menjadi kota tujuan pertama untuk bermalam di luar Indonesia. 

Suasana Belajar Bahasa Jerman.

Selepas empat bulan tinggal di pusat kota, saatnya pindah menuju tujuan sebenarnya datang ke Negara yang dijuluki 'Land of Idea'. Oldenburg merupakan nama kota tempat universitas saya berdiam. Akan tetapi Kota Wilhelmshaven adalah nama kota tempat saya tinggal dan menempuh studi selama 3 tahun ke depan (Insya Allah.. aamiin). Jadi terdapat satu Institut yang merupakan bagian dari Universitas dibangun di kota ini. Dan Allah SWT menempatkan saya untuk studi program doktor saya. Wilhelmshaven merupakan kota pelabuhan kecil sebelah barat laut Kota Jerman yang berbatasan dengan laut utara Jerman. Secara garis besar, jika digambarkan kota ini bisa dikatakan desanya Jerman. Tidak seperti kota besar di kampung halaman sebelumnya (hehe..), sepeda adalah kendaraaan andalan untuk pergi kemana-mana. Alhamdulillah, Allah baik banget kasih sepeda untuk sarana kesehatan lainnya selain lari pagi.  "Kok ambil disitu za? Emang dulu pilih kota dan univesitasnya kaya bagaimana? Jatuhin pulpen dengan tutup mata di atas peta ya? hehehe" Canda seorang teman ketika acara perpisahan di Berlin. Dan ini pun jadi pertanyaan beberapa teman lainnya karena seperti anti-mainstream memilih kota yang jauh sepi dan sangat terasa suasana 'asli Jermannya' seperti apa. Saya pun menjelaskan dengan tersenyum mengenai program beasiswa yang saya ambil dimana ada kerja sama dengan Negara Indonesia serta komunikasi di kampus ketika S2.

Suasana Kota Wilhelmshaven
Memang dalam hati butuh ketegaran yang kuat ketika melihat dan merasakan secara langsung perbedaan suasana cukup signifikan dari tempat tinggal sebelumnya. Namun kembali lagi berintrospeksi diri bahwa sebenarnya apa sih tujuan datang ke sini. Kalau ingin jalan-jalan ssaja maka penyesalan lah yang dirasakan. Akan tetapi jika ingin mencuri ilmu dan mencari jawaban dari penelitian yang saya lakukan maka inilah jalan yang Allah SWT berikan. Toh jika ingin jalan-jalan tinggal ambil cuti dan pergi deh. Alhamdulillah akses transportasi di sini tidak begitu mahal dan sangat efektif. Jadi fokus kerja dan doa semoga langkah ini selalu diberkahi saja sebagai pengobat dan penyemangat menjalani waktu selama 3 tahun (Aamiin..). Ya itulah kurang lebih curhatan colongan mengenai gambaran kota dan respon pertama saya untuk menjalani studi. Sekarang menuju pengalaman studinya!! Brrrr....

Sudah satu semester saya menjalani studi di sini dimana rasanya itu..... nano-nano. Terkadang apa yang diekspetasi dari awal tidak sesuai pada kenyataan. Begitupula sebaliknya apa yang tidak berada dalam benak pikiran ternyata hadir (sama aja di luar ekspetasi ya.. hehe). Tapi sebelumnya sedikit ulas serba serbi pendidikan di Jerman. Untuk biaya pendidikan, Jerman dengan murah hatinya membebaskan beban biaya pendidikan alias gratis...tis...tis... hehehe.. Akan tetapi mereka mengeluarkan beban biaya untuk kartu mahasiswa (semester ticket) tiap semesternya. Jadi dalam satu semester kita diwajibkan membayar sebesar 200-300 euro dan itu sudah mencakup biaya transportasi umum apapun di wilayah bagian kota tersebut selama enam bulan. Jika dikalkulasikan ya Alhamdulillah sangat memuaskan karena mau berapa kali naik bis, kereta, tram cukup tunjukan kartu kita. Untuk pendidikan sebagai seorang mahasiswa S3 Alhamdulillah tidak seseram yang dibayangkan. Supervisor saya terbilang ramah dan humoris bahkan. Ya namun jika bicara target penelitian, maka suasana serius dan mencenangkan pun kadang terasa. hehehe..

Jika dipikirkan sampai saat ini ternyata cukup banyak juga hal yang dilakukan namun sulit untuk mengekspresikan lewat tulisan. Waaaah... yang namanya membuat publikasi ilmiah itu suliiiit. Jika dirunut dari program kerja yang sudah didiskusikan sebelumnya dengan supervisor sih tetap berjalan. Tetapi tiba-tiba hidup seakan terhenti mendadak ketika menulis. Butuh studi literatur yang sangat mendalam dalam menulis yang saya sadari masih jauuuh dari hal tersebut. Selain itu ternyata masa jenuh pun sempat mampir duduk di pundak dan hati saya. Hal ini pernah saya dengar dari beberapa curhatan doktoran Indonesia di beberapa kota lainnya. Rasa ini timbul dikarenakan lelahnya kita melakukan hal yang sama berulang-ulang kali terlebih lagi saya tinggal di gedung yang sama dengan tempat kerja. Jadi jika ingin kerja tinggal ke lantai bawah saja. Sebaliknya malas sedikit tinggal tumpang absen saja selama 2 jam kemudian kembali ke atas (Hadeuuuh.. ). Salah satu solusi untuk menghilangkan rasa jenuh tersebut ya.. jalan-jalan. Ya... kegiatan di luar, bertemu banyak kerumunan orang, silaturrahim ke teman Indonesia di kota lain bahkan wisata keliling Eropa ternyata sangat ampuh untuk menyegarkan mood kita dan bersiap kembali kerja di hari berikutnya.

Alhamdulillah, salah satu keuntungan penting yang didapatkan jika studi di luar negeri khususnya wilayah Eropa adalah akses antar negara cukup dekat dan murah. Selama satu tahun ini lima negara sudah bisa dicoret dalam daftar kunjungan wisata saya. Ada yang dalam agenda undangan pertemuan dari program beasiswa (DAAD), berkunjung ke tempat teman dan memang dikhususkan liburan hehehe. Allah memang baik banget mengizinkan saya untuk berkesempatan mengalami hal seperti ini. Jika ditarik bagaimana perjuangan mengurus administrasi beasiswa dan segala lika liku proses keberangkatannya benar benar sesssuatu deh. Insya Allah semoga apa yang dilakukan dan didapatkan selama ini dalam rangka beribadah kepadaNya saja. Tanpa izin dariNya saya mah apa atuh lah. Kata bahasa bapernya sih, aku mah bagaikan butiran debu saja hehehe. Akan tetapi terlepas dari itu semua rasa bersyukurlah harus senantiasa ada ya di dalam diri kita. Bagaimanapun kondisinya, baik itu senang dan sedih, di posisi atas maupun bawah. Pemeran utama yang menentukan itu semua tidak pernah berubah selain Yang Maha Kuasa. Semoga teman-teman bisa mendapatkan hikmah dari curhatan pengelaman saya sebagai mahasiswa PeHaDe. Semangaat untuk kita semuaa!!







Comments